Pandangan Hukum Islam Terhadap Legalisasi Penggunaan Ganja dalam Dunia Medis

legalisasi ganja medis

Modernis.co, Jakarta – Ganja dalam bahasa medis dikenal dengan nama cannabis medis atau marijuana medis. Ganja medis ini memiliki banyak senyawa atau zat aktif yang terkenal yaitu delta-9 tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD). Ganja dalam dunia media berguna sebagai pengobatan nyeri, arthritis (peradangan sendi), sirosis (peradangan dan fungsi buruk pada hati), mual, dan lainnya. Selain itu ganja juga dapat mengobati penyakit yang lebih spesifik seperti Alzheimer, Kecemasan, Kesehatan Paru-paru, Multiple sclerosis dan Mengatasi Gangguan Jiwa.

Beberapa ulama memperbolehkan penggunan ganja sebagai obat ketika memang dalam keadaan darurat dan untuk kemaslahatan dengan mengambil manfaat dan menghindari mudharat untuk tetap menjaga tujuan syariat. Dalam penggunaan tanaman ganja sebagai obat harus digunakan dalam keadaan darurat seperti dalam suatu kondisi dimana ditempat tersebut hanya terdapat tanaman ganja yang dapat diambil untuk digunakan sebagai obat.

Jadi tidak melulu ganja dapat menjadi pilihan ketika sedang sakit, akan tetapi menjadi pilihan lain ketika berada dalam keadaan darurat. Kedua adalah dosis atau takaran yang digunakan tidak boleh berlebihan karena akan mendatangkan mudharat atau keburukan. Penggunaan ganja memilki pengaruh yang buruk terhadap kesehatan fisik maupun psikis (mental). Dari segi fisik ganja dapat menyebabkan kanker paru karena asap ganja mengandung banyak karsinogen sama dengan asap tembakau

Menurut Andini (Dalam Malik, 2020: 1) Ganja adalah tanaman yang sering dipandang negatif oleh masyarakat dunia. Tetapi dibalik image negatif dari tanaman ini, terdapat nilainilai positif yang tidak mendapat expose yang cukup. Menjadi kontroversi dalam masyarakat dengan pewacanaan legalisasi ganja di Indonesia. Ganja atau mariyuana adalah psikotropika mengandung tetrahidrokanabino dan kanabidiol yang membuat pemakainya mengalami euforia. Ganja biasanya dibuat menjadi rokok untuk dihisap supaya efek dari zatnya bereaksi.

Menurut Afrianty dalam (Aldino, 2018: 235) memaparkan bahwa saat ini, ganja masih merupakan tanaman yang kontroversial karena sejarahnya yang lekat dengan budaya Indonesia. Di Aceh, tanaman ini berfungsi sebagai penyedap masakan untuk berbagai jenis masakan, seperti gulai kambing, dodol Aceh, mie Aceh, kopi Aceh dan sebagainya. Ganja termasuk kedalam jenis narkotika, ganja adalah tanaman perdu dengan nama latinnya Cannabis Sativa.

Di sisi lain, pemerintah masih melarang peredaran dan penggunaan ganja di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika), yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, ganja termasuk dalam narkotika golongan I yang dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.Dalam beberapa tahun terakhir pandangan terhadap ganja mengalami pergeseran secara global.

Rekomendasi World Health Organization (WHO) kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meratifikasi ganja sebagai keperluan medis, dimana sebelumnya Commission on Narcotic Drug telah melakukan voting dan hasilnya 27 dari 53 negara telah menyetujui untuk menghapus ganja dan getah ganja dari golongan IV dan dipindahkan ke dalam golongan I di Konvensi Tunggal 1961. Berdasarkan penilaian ilmiah, potensi risiko kesehatan dan manfaat terapeutik ganja, ECDD merekomendasikan penggolongan ulang dari narkotika termasuk ganja yang sesuai dari zat psikoaktif.

Dikeluarkannya ganja dan resin ganja dari Golongan IV tersebut menunjukkan pengakuan internasional terhadap manfaat medis yang dimiliki oleh tanaman ganja. Menurut Julian (dalam Nur’han: 1) sejak dua dekade terakhir sudah banyak Negara yang mulai melegalkan ganja untuk keperluan medis. Pengkonsumsian ganja untuk kebutuhan medis menyimpan banyak stigma buruk layaknya pengonsumsian candu. Maka menjadi hal wajar ketika legalisasi ganja untuk keperluan medis ini digemborkan maka banyak dari masyarakat akan mempertanyakan.

Padahal, legalisasi ganja medis menjadi hal yang sangat menguntungkan, baik di bidang kesehatan maupun perekonomian suatu Negara. Masih banyak penyakit tertentu yang hanya bisa ditangani oleh ganja dan karenanya ketika masih banyak negara yang melarang ganja maka itu adalah kesempatan emas bagi negara lain untuk mengekspor produk kesehatan dari ganja. Melihat dari kandungan ganja yang mengandung 66 dari 483 konsitituen kimia yang disebut cannabinoid dapat digunakan menjadi obat. Hal ini menjadikan ganja dapat mendatangkan manfaat bagi medis.

Menurut Al-Zuhaili (dalam Gunawan, 2022: 38) Ganja tidak ditemukan dalilnya dalam Al-quran dan hadis, namun pada perkembangannya, Wahbah al-Zuhaili mengemukakan benda yang membawa pada rusaknya akal di antaranya ialah al-hasyusy. Al-hasyusy biasa dipakai di daerah Timur, digunakan untuk memberi nama bagi tanaman ganja, sebab dapat menyebabkan mati rasa atau mabuk. Karena sama-sama sebagai suatu hal yang memabukkan maka penggunaan ganja disamakan dengan khamr yang mana hukum mengonsumsi khamr diharamkan dalam Islam. Hukum khamr terdapat dalam hadis riwayat Abi Dawud dari Ibn Umar sebagai berikut:

Dari Ibn Umar ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Setiap sesuatu yang memabukkan adalah khamer, dan setiap yang memabukkan adalah haram

Pandangan Islam terhadap ganja di qiyas-kan pada khamr. Namun pada ganja dapat diatur dosis dan batasan  pada penggunaan sebagai obat, serta dapat digunakan dengan benar sesuai anjuran dari dokter. Dalam hal ini menunjukkan bawah ganja tidak dapat disamakan dengan khamr karena tidak sesuai unsru-unsur dalam qiyas, sehingga menjadikan ganja tidak berlawanan dengan hukum dan prinsip yang telah ditetapkan berlandaskan nash atau Ijma.

Dalam Islam maqasid syariah menjadi salah satu sumber syariat Islam yang salah satunya yaitu menjaga nyawa atau hifz nafs. Penggunaan ganja ini apabila ditujukan hanya untuk memelihara nyawa diperbolehkan tetapi apabila untuk memelihara akal untuk tujuan rekreasional maka Haram. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mendeskripsikan lebih dalam mengenai pandangan hukum islam terhadap legalisasi penggunaan ganja dalam dunia medis.

Ganja dalam Dunia Medis

Menurut Putra dalam (Nur’han: 4) Ganja dalam bahasa medis dikenal dengan nama cannabis medis atau marijuana medis. Ganja medis ini memiliki banyak senyawa atau zat aktif yang terkenal yaitu delta-9 tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD). THC ini merupakan bahan utama yang membuat pasien atau orang yang mengkonsumsi “high” atau melayang alias mabok.

Ganja dalam dunia medis disebut misalnya THC (Delta-9 tetrahydrocannabinol) yang memiliki efek analgesik atau penghilang rasa sakit, sifat anti-spasmodik atau menghilangkan kejang- kejang, anti-tremor, antiinflamasi dan lainnya. Zat lain bernama (E)–BCP (Beta-caryophyllene) dapat digunakan sebagai pengobatan nyeri, arthritis (peradangan sendi), sirosis (peradangan dan fungsi buruk pada hati),mual, dan lainnya.

Cannabidiol (CBD) mengandung sifat anti- inflamasi, anti-biotik, anti-depresan, anti-psikotik, anti-oksidan, serta berefek menenangkan. Selain itu ganja juga dapat mengobati penyakit yang lebih spesifik seperti Alzheimer, Kecemasan, Kesehatan Paru-paru, Multiple sclerosis dan Mengatasi Gangguan Jiwa. Menurut LGN (dalam Qadrina, 2022: 55) Tanaman ganja juga dapat digunakan sebagai upaya pengobatan pada berbagai penyakit, yaitu

  • Alzheimer

Alzheimer adalah penyakit saraf yang gejalanya ditandai dengan kehilangan memori dan melambatnya respons alat gerak tubuh. Penderita Alzheimer juga mengalami depresi, agitasi, dan hilangnya nafsu makan. Saat ini terdapat lebih dari 4,5 juta warga Amerika yang mengidap Alzheimer. Belum ada pengobatan yang dapat menghentikan penyakit ini.

Pada tahun 2005, Journal of Neuroscience memuat penelitian dari Complutense University dan Cajar Institute di Spanyol yang melaporkan bahwa pemberian sintesis zat aktif ganja dapat mencegah kerusakan kognisi dengan mengurangi neurotoksisitas (sifat racun pada sel saraf) pada tikus yang diinjeksi amyloid-beta peptideprotein yang diyakini menjadi salah satu penyebab Alzheimer-juga mengurangi peradangan yang disebabkan penyakit ini pada jaringan sel-sel otak. Para ilmuwan dari Spanyol ini menyimpulkan bahwa cannabinoid berhasil mencegah proses semakin rusaknya sel saraf akibat penyakit Alzheimer.

  • Kanker dan Leukimia

Penelitian Manuel Guzman yang diterbitkan dalam Journal of Nature Review tahun 2003 menyebutkan bahwa pada percobaan in-vivo (pada tikus) dan in-vitro (di luar organisme), senyawa-senyawa cannabinoid memiliki efek menghambat pertumbuhan sel tumor dan bahkan dapat membunuhnya dengan memicu apoptosis (penghancuran diri sendiri pada sel). Terapi ini sukses untuk pengobatan tumor paru-paru, tumor glioma, tumor pada tiroid, limfadenoma, kulit, rahim, payudara, prostat, dan juga neuroblastoma. Dalam penelitian lainnya, zat THC pada ganja juga terbukti memicu apoptosis selektif hanya pada sel-sel kanker darah (leukemia) dalam jangka waktu enam jam.

  • Nyeri Kronis

National Academies of Sciences, Engineering, and Medicines melaporkan bahwa ganja digunakan untuk mengatasi sakit kronis karena kandungan cannabinoid mampu membantu meredakan atau bahkan menghilangkan rasa nyeri. Selain itu berdasarkan penelitian dari Harvard Health Publishing, tanaman ganja dapat menghilangkan rasa sakit yang disebabkan oleh multiple sclerosis, nyeri saraf dan sindrom iritasi usus, dan nyeri kronis seperti fibromyalgia dan endometriosis.

  • Kejiwaan

Clinical Psychology Review menunjukkan bahwa ganja terbukti membantu mengatasi masalah kesehatan jiwa dengan mengholangkan gejala depresi dan gejala gangguan stress pascatrauma

  • Jerawat

CBD memiliki sifat anti-inflamasi sehingga dapat meredakan jerawat dan mengurangi produksi sebum juga dapat mencegah sel – sel kelenjar sebaceous yang mengeluarkan sebum yang berlebihan, tindakan anti – inflamasi juga dapat mencegah aktivasi agen – agen “pro-acne” seperti sitokin inflamasi. Bentuk produk yang dapat dihasilkan berupa krim atau obat oles jerawat. Krim merupakan salah satu bentuk sediaan tropikal yang digunakan sebagai antijerawat serta dapat berfungsi sebagai pelindung yang baik bagi kulit.

  • Diabetes

Menurut Putri (dalam Qadrina & Risal, 2022: 52) Memanfaatkan akar ganja untuk penyembuhan oleh penderita diabetes dari daerah kabupaten Bone, Sulawesi Selatan dinyatakan sembuh total dengan pengobatan menggunakan tanaman ganja yaitu dengan rutin meminum air rebusan dari akar ganja. Selama pengobatan tersebut berlangsung penderita tersebut tidak merasakan efek kecanduan. Pada kasus ini kandungan ganja terbukti mampu mengurangi kadar gula dalam darah. Pengaturan pola makan tersebut bertujuan untuk membantu mengatur massa tubuh sehingga memperoleh berat badan yang ideal serta mengurangi terjadinya kemungkikan komplikasi

  • HIV/AIDS

HIV/AIDS tergolong sebagai penyakit dengan tingkat penyebaran paling tinggi sehingga memunculkan kekhawatiran terkait pencegahan maupun pengobatannya.. Ganja yang diproduksi menjadi pil disetujui FDA (Food and Drugs Administration) Amerika Serikat bahwa efeknya dapat meningkatkan napsu makan orang – orang dengan gejala maupun penyakit HIV/AIDS. Studi yang diterbitkan dalam jurnal Neurology mengungkapkan bahwa menghidup ganja dapat meningkatkan suasana hati dan kualitas hidup ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) secara signifikan

  • Epilepsi

Referensi pemakaian ganja untuk pengobatan epilepsi sudah ada sejak zaman Ibnu Sinna (Avicenna) dan Al-Masi pada abad ke-sebelas, serta Al-Badri pada abad ke-lima belas Masehi. Sementara pada tahun 1971, Medical World News melaporkan bahwa mariyuana mungkin adalah obat anti epilepsi paling kuat yang dikenal dunia kedokteran ekarang. Sebuah percobaan menggunakan hewan menemukan bukti bahwa ganja mengandng berbagai jenis zat aktif seperti cannabinoid yang dapat mengontrol serangan epilepsi dengan baik.

Ganja adalah satusatunya sumber CBD dari dunia tanaman. Penelitian militer Amerika juga melaporkan bahwa tikus yang diberikan cannabinoid sintesis memiliki kemungkinan 70% lebih rendah terkena serangan epilepsi dan kerusakan otak setelah dipaparkan gas saraf. Dapat dilihat bahwa tanaman ganja memiliki manfaat untuk pengobatan banyak orang yang sedang berjuang melawan sakitnya.

Oleh karena itu, penggunaan ganja untuk pengobatan medis ditinjau dari maslahah adalah untuk kemanfaatan, kebaikan dan terpenuhinya hak seseorang atas kesehatan. Pada dasarnya penggunaan ganja untuk pengobatan medis tidak akan menyebabkan kemudharatan apabila terdapat aturan yang mengatur terkait dosis, kewenangan, hingga pendistribusian dengan benar, tetap aman, dan memenuhi standar.

Perspektif Hukum Islam dalam Manfaat dan Bahaya Penggunaan Ganja dalam Dunia Medis

Menurut Al Jaziri (dalam Nur’han, 2023: 82) Ganja dalam Islam dikenal dengan sebutan al-hasyusy. Sebutan al-hasyusy ini awalnya digunakan di daerah Timur, sebab dapat menyebabkan mati rasa dan melayang. Hukum ganja memang bukan sesuatu yang baru dalam sejarah Islam baik dalam sejarah Sunni ataupun Syiah. Dalam kultur Arab al-hasyusy ganja tidak diklarifikasikan sebagai rokok maupun khamar. Tetapi jelas bahwa ganja merupakan sesuatu yang haram. Bisa jadi ganja menjadi haram lidzatihi yaitu, yang mutlak akan keharamannya seperti babi, ataukah haram li dlararihi, yaitu barang yang diharamkan sebab potensi bahayanya

Dalam khazanah Islam kesehatan adalah karunia Allah yang paling penting dan besar bagi seluruh manusia, kesehatan adalah modal utama manusia dalam menjalankan kehidupan. Maka dari itu lima hal yang meyebabkan diturunkannya suatu syariat Islam atau yang sering kita sebut maqasid asy-syariah memiliki tujuan diantaranya memelihara agama (hifz al- din), memelihara akal (hifz aql), memelihara jiwa (hifz nafs), memelihara harta (hifz al-mal) dan memelihara keturunan (hifz al-nasl). Tumbuhan ataupun nabati yang ada dibumi itu halal dan dapat dikonsumsi.

Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah pasti memiliki kegunaan masing-masing Allah tidak akan menciptakan seauatu tanpa ada manfaat di dalamnya. Salah satu pohon ajaib yaitu ganja. Manfaat yang Allah dihadirkan dari ganja sangatlah berlimpah dari mulai dari medis, rekreasi, industri dan masih banyak lagi. Namun kemanfaatan itu sirna akibat segelintir manusia menafikkan dengan menggolongkan ganja sebagai narkotika dan bahkan lebih parahnya lagi menjadikan barang haram.

Meskipun demikian ada Ulama yang sepakat adanya ganja sebagai obat merujuk pada pendapat kalangan mazhab syafii. Ada dua pendapat dari kalangan syafi’iyah memperbolehkan mengkonsumsi narkotika dalam kondisi tertentu dan dalam keadaan darurat walaupun nantinya akan menimbulkan efek memabukkan. Kedua menurut Al-Khatib Asy-syarbini boleh menggunakan sejenis narkotika dalam pengobatan ketika tidak ada obat lainnya.

Dalam Islam maqasid syariah menjadi salah satu sumber syariat Islam yang salah satunya yaitu menjaga nyawa atau hifz nafs. Penggunaan ganja ini apabila ditujukan hanya untuk memelihara nyawa diperbolehkan tetapi apabila untuk memelihara akal untuk tujuan rekreasional maka Haram. Jadi perlu ditegaskan bahwa fatwa ganja medis ini perlu, tetapi penegasan batasan penggunaan untuk kepentingan nyawa dan kesehatan harus tegas dan jelas. Karena apabila tidak ada peraturan yang jelas maka akan menimbulkan penyalahgunaan didalamnya dan dalam Islam menimbulkan kemudharatan

Menurut Tunggal dalam (Nuryadi, 2020: 60) memaparkan bahwa dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai Penyalahgunaan Narkotika, ditegaskan bahwa agama Islam melarang memasukkan bahan yang merugikan kesehatan fisik, mental, dan jiwa ke dalam tubuh manusia. Namun, penggunaan ganja sebagai obat diperbolehkan jika sesuai dengan aturan ahli dan batasan penggunaannya. Dalam Hukum Pidana Islam, hukuman ta’zir diberlakukan terhadap penyalahguna narkotika karena tidak ada nash spesifik mengenai narkotika dalam Al-Quran dan Hadis.

Karena tidak ada dalil tertentu untuk narkotika, maka berdasarkan hal tersebut, narkotika (ganja) di qiyas-kan pada khamr. Padahal khamr dan ganja adalah dua objek yang berbeda baik dalam bentuk, kandungan zat atau senyawa maupun efek yang dihasilkan. Tanaman ganja dalam penggunaannya dapat diatur dosis dan batasan yang sesuai untuk digunakan sebagai obat, serta dapat digunakan dengan benar sesuai petunjuk dan resep dari dokter. Ganja dalam hal ini tidak dapat disamakan dengan khamr karena tidak memenuhi unsur-unsur dalam qiyas, sehingga ganja tidak bertentangan dengan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan berdasarkan nash atau Ijma’.

Nazib Hammad dalam (Mawarni, 2020: 6) mengatakan bahwa menggunakan bahan yang diharamkan seperti khamar yang digunakan untuk keperluan medis selama hal tersebut tidak bisa digantikan oleh pengobatan lain dan tidak ada lagi alternatif pengobatan lain maka hukumnya diperbolehkan akibat unsur darurat. Akan tetapi, darurat ini ada batasnya yaitu hanya sampai penyakit yang dideritanya sembuh dan keadaannya semakin pulih.

Dari kaidah tersebut apabila dikaitkan dengan ganja medis maka bentuk kesukaran yang terjadi apabila terdapat penyakit yang susah untuk disembuhkan maka hukum syar‟i mempermudah. Sehingga berobat dengan sesuatu yang sukar atau haram diperbolehkan karena keselamatan jiwa (Hifz Nafs) lebih diutamakan dari pada apapun.

Menurut Pembayung dalam (Nur’han, 2023: 103) memaparkan bahwa eberapa ulama memperbolehkan penggunan ganja sebagai obat ketika memang dalam keadaan darurat dan untuk kemaslahatan. Beberapa ulama juga bersepakat bahwa berobat dengan benda najis dan haram diperbolehkan apabila tidak ada benda suci yang menggantikannya Namun apabila ada benda suci dan berfungsi sama seperti benda haram maka sebaiknya memilih obat yang jelas status halalnya.

Jika ada kebutuhan dibenarkan secara syariah, penggunaan ganja diperbolehkan dengan beberpa syarat dan kondisi maka ganja perlu dikaji secara mendalam tentang kemanfaatan ganja. Apabila ditinjau dari kemaslahatan tanaman ganja dapat digunakan sebagai obat, setiap penyalahgunaan tanaman ganja maka deberikan hukuman ta‟zir.

Dampak Penggunaan Ganja dalam Dunia Medis

Menurut Halla & Degendhardt (dalam Aryani, 2017: 7) Penggunaan ganja memilki pengaruh yang buruk terhadap kesehatan fisik maupun psikis (mental). Dari segi fisik ganja dapat menyebabkan kanker paru karena asap ganja mengandung banyak karsinogen sama dengan asap tembakau. Perokok ganja juga terkait dengan radang pada saluran nafas yang besar, peningkatan hambatan jalan nafas, hiperinflasi paru, perokok ganja lebih cenderung mengalami gejala bronkitis kronis daripada bukan perokok, peningkatan tingkat infeksi pernafasan dan pneumonia

Selain itu menurut Volkow Degendhardt (dalam Aryani, 2017: 7) Penggunaan ganja juga dikaitkan dengan kondisi vaskular yang meningkatkan risiko infark miokard, stroke, dan serangan iskemik transien selama intoksikasi ganja. Mekanisme yang mendasari efek ganja pada sistem kardiovaskular dan serebrovaskular rumit dan tidak sepenuhnya dipahami. Namun, dampak langsung kannabinoid pada berbagai target reseptor (yaitu reseptor CB1 di pembuluh darah arteri) dan efek tidak langsung pada senyawa vasoaktif dapat membantu menjelaskan efek merugikan ganja pada resistensi vaskular dan mikrosirkulasi koroner.

Ganja juga mempengaruhi fungsi kognitif, defisit dalam pembelajaran verbal, penurunan daya ingat (memori) dan perhatian hal ini dilaporkan pada pengguna ganja berat dan dikaitkan dengan durasi penggunaan, frekuensi penggunaan, dan dosis kumulatif THC. Perubahan struktur otak dilaporkan terjadi di hippocampus, prefrontal cortex (PFC), dan serebellum pada pengguna ganja kronis. Yücel dkk. melaporkan terjadinya pengurangan volume hippocampal dan amigdala dalam pengguna jangka panjang yang telah mengisap 5 atau lebih sehari selama 10 tahun atau lebih.

Pengurangan ini meningkat seiring dengan lamanya pemakaian. Selain menyebabkan masalah fisik ganja juga mempengaruhi kesehatan mental, seperti gangguan bipolar, bunuh diri, depresi, kecemasan dan psikotik. Menurut Food and drug administration (FDA) (dalam Christopher, 2022: 140) memaparkan di Amerika telah menyetujui obat berbasis THC yaitu dronabiol (marinol) dan nabilone (cesamet), yang dapat diresepkan dalam bentuk pil pada pengobatan mual muntah pada pasien pasca kemoterapi

Menurut Khoirul dalam (Nuryadi, 2020: 15) CBD dianggap WHO telah banyak berperan penting dalam terapi kesehatan selama beberapa tahun terakhir. Sementara THC merupakan unsur psikoaktif utama yang ada di ganja. Dalam dosis intoksikasi yang biasa, ganja menghasilkan rasa nyaman, relaksasi, rasa keramahan, kehilangan kesadaran sementara, termasuk sulit membedakan masa lalu dengan saat ini, memperlambat proses berpikir, penurunan ingatan jangka pendek. Pada dosis tinggi, ganja dapat menyebabkan panik, delirium toksik, dan psikosi.

Solusi Penggunaan Ganja dalam Dunia Medis Menurut Pandangan Islam

Salah satu solusi pengguaan ganja dalam hukum islam ialah menggunkan metode maslahah mursalah yaitu bahwa penggunaan ganja sebagai tanaman obat dapat digunakan hanya dalam keadaan darurat dan dalam dosis yang sangat terbatas sehingga hal–hal yang memungkinkan terjadinya kemudharatan dapat dihindari

Imam Ghazali (dalam, Djazuli 2013: 76) mendefinisikan maslahah sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kemanfaatan dan menanggulangi kerusakan. Atau bisa juga dijelaskan mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka merawat tujuan-tujuan syara’

Konsep maslahah mursalah menurut Wahbah Zuhaili lebih memilih kedudukan maslahah mursalah sebagai metode istinbath yang berdiri sendiri (independen) terlepas dari al-Qur’an dan as Sunnah. Adapun syarat operasional maslahah mursalah menurut Wahbah Zuhaili dalam (Gunawan, 2022: 40) yaitu:

  1. Apabila perbuatan atau amal tersebut berupa maslahah yang nyata (haqiqatan) bukan sekedar dugaan (wahmiyah) sekiranya dapat mewujudkan kemaslahatan dan menolak madharat.
  2. Tidak pula ketika beramal dengan maslahah tersebut bertentang dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan berdasarkan nash atau Ijma’
  3. Ketentuan yang terakhir menurut Wahbah Zuhaili bahwa cakupan maslahah bersifat umum, yakni dapat mewujudkan manfaat bagi banyak orang

Metode Maslahah Mursalah dengan mengambil manfaat dan menghindari mudharat untuk tetap menjaga tujuan syariat. Dalam penggunaan tanaman ganja sebagai obat harus digunakan dalam keadaan darurat seperti dalam suatu kondisi dimana ditempat tersebut hanya terdapat tanaman ganja yang dapat diambil untuk digunakan sebagai obat.

Jadi tidak melulu ganja dapat menjadi pilihan ketika sedang sakit, akan tetapi menjadi pilihan lain ketika berada dalam keadaan darurat. Kedua adalah dosis atau takaran yang digunakan tidak boleh berlebihan karena akan mendatangkan mudharat atau keburukan. Hal tersebut harus dihindari agar penggunaan ganja sebagai obat dapat bekerja secara maksimal.

Menurut Intan dalam (Syam, 2022: 230) aspek maslahah mudharat terhadap pelegalan ganja sebagai obat (perspektif hukum islam), dalam mempertimbangkan maslahah dan mudharat ganja ketika digunakan untuk kesehatan dilihat terlebih dahulu kedharuratan hal tersebut, ketika hal tersebut dharurat maka ganja bisa digunakan sesuai kaidah yang ada dalam islam, tetapi ketika ganja tersebut disalahgunakan maka hal tersebut akan menjadi mudhrat yaitu membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Ganja memiliki potensi manfaat medis yang signifikan berkat kandungan cannabinoid-nya. Komponen seperti THC, (E)-BCP, dan CBD telah terbukti memiliki sifat analgesik, anti-inflamasi, antispasmodik, dan berbagai manfaat lainnya. Penelitian mendukung penggunaan ganja dalam mengatasi nyeri kronis, gejala neurologis, dan masalah kesehatan lainnya. Ganja memang sangat berbahaya jika di konsumsi oleh manusia secara berlebihan karena bisa mengakibatkan mabuk berat, hal itu menjadi pro dan kontra tentang legalisasi ganja di indonesia walaupun digunakan untuk sektor medis.

Namun perlu diketahui bahwa pada kenyataannya ganja memberikan banyak manfaat salah satunya di dalam sektor medis, hal itu bisa dilihat dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Jika manfaat ganja ini terus di ilegalkan di indonesia akan sangat disayangkan, banyaknya orang-orang yang terkena penyakit seperti kanker, paru-paru, gangguan jiwa, dan lain-lain sedikit banyaknya membutuhkan ganja sebagai perkembangan kesembuhan seseorang.

Dalam konteks pandangan hukum Islam, penggunaan ganja sebagai obat dapat dibenarkan dengan mematuhi aturan dan batasan yang ditentukan oleh ahli medis. Adanya pengaturan dosis, pengawasan medis yang ketat, serta kepatuhan terhadap regulasi hukum dapat memastikan penggunaan ganja dalam dunia medis sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Hukum Islam dengan metode qiyas menyamakan objek antara ganja dengan khamr, namun berdasarkan kesepakatan beberapa ulama unsur–unsur qiyas tidak memuat objek ganja sehingga hukumnya gugur dan tidak dapat disamakan hukumnya dengan khamr. Metode maslahah mursalah bahwa penggunaan ganja sebagai tanaman obat dapat digunakan hanya dalam keadaan darurat dan dalam dosis yang sangat terbatas sehingga hal–hal yang memungkinkan terjadinya kemudharatan dapat dihindari.

Oleh: Halimatus Sa’adah, Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka

Aldino, H. (2018). Persepsi mahasiswa terhadap gagasan legalisasi ganja di indonesia. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 13(2), 234-249.

Christopher A. Legare. et.al., (2022). Therapeutic Potential of Cannabis, Cannabidiol, and Cannabinoid-Based Pharmaceuticals. Pharmacology 2022;107:131–149

Djazuli. (2013). Fiqh Siyasah (Hafidh Al-Ummah Dan Pemberdayaan Ekonomi Umat). Bandung: Kencana doi: http://doi: 10.1159/000521683.

Gunawan, Dwi Putri. 2022. Legislasi dan Maslahah: Studi Pemanfaatan Ganja untuk Pengobatan Medis. Ijtihad. 38 (1); 37-52.

Malik, S., Luriana, M., Rika, J.(2020). Legalisasi Ganja Dalam Sektor Medis Perspektif Hukum. JURNAL RECHTEN: RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, 2 (2),3-4.

Mawarni, S. A. (2020). Analisis Hukum Islam Terhadap Pengkategorian Golongan Minuman Keras dalam Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

Nur’han, S. R. (2023). Legalisasi Ganja Medis Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam (Doctoral dissertation, UIN KH Achmad Siddiq Jember).

Nuryadi, Agus. (2020). Penggunaan Ganja Sebagai Obat Perspektif Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Qadarina, N., dan M. Chaerul Risal. (2022). Legalisasi Ganja Sebagai Tanaman Obat:Perlukah?.Jurnal Al Tasyri,iyyah. 2(1). 55.

Syam, S., & Musyahid, A. (2022). Aspek Maslahah-Mudharat Terhadap Pelegalan Ganja Sebagai Obat Perspektif Hukum Islam. Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum, 219-231

Zuhaili, Wahbah al-. (2005). Ushul Al-Fiqh AlIslami. Damaskus: Dar al-Fikr.

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment